Buat yang pernah mengikuti blog baru gue ini dari awal-awal gue buat, kemungkinan ingat sama post gue yang ini. Yap, soal keinginan jadi jurnalis. Jatuh cinta pertama kali lewat liputan wartawan-wartawan tentang konklaf di Vatikan (2005), makin salut sama pekerjaan ini ketika membaca 168 Jam dalam Sandera -nya Meutya Hafid (terbitan 2007).

Keinginan akan tetap jadi sebatas keinginan aja kalau kita gak berusaha untuk mengejawantahkannya. Sejak SD gue udah semangat ikutan ekstrakurikuler Majalah Dinding, pas SMA gue jadi Seksi Multimedia di OSIS, hingga pas kuliah kegiatan organisasi gue ya ga jauh-jauh dari jadi reporter atau editor atau layouter. Gue sempat beberapa kali mengirimkan CV buat melamar ke dunia tulis-menulis secara umum, tapi sampai sekarang belum jodoh terus.

Ada dua instansi yang pernah menerima aplikasi gue dan mengajak untuk wawancara. Pertama adalah salah satu perusahaan hip di bidang hukum, yang business core-nya adalah melaporkan berita-berita serta menjawab pertanyaan-pertanyaan pembaca seputar dunia hukum Indonesia di situs milik mereka. Kala itu akhir Desember tahun kemarin, gue diundang untuk wawancara di kantor mereka untuk posisi reporter magang. Beuh, pertanyaan-pertanyaannya ngeri-ngeri sedap. :))) Mulai dari pertanyaan mengenai skripsi gue (yang sedang gue susun saat itu), pertanyaan teori-teori hukum, hingga pertanyaan-pertanyaan perihal kejadian yang paling happening di dunia hukum. Saat itu lagi edan-edannya berita soal korupsinya salah satu partai. Gue yang ga setiap hari baca koran agak gelagapan, tapi thanks to berita-berita di media online (meski sepotong-sepotong); gue jadi bisa jawab (setidaknya) orang-orang yang terlibat di kasus itu. Selain itu, pertanyaan standar wawancara, ya seputar availability. Seperti jam malam gue, apakah gue bisa kerja hari Sabtu. Kemudian ada juga bercanda dikit seputar kehidupan jurnalis, yang kerjanya sampai malam kayak lawyer, tapi tentunya uangnya gak sebanyak lawyer. "Tapi setidaknya saya melakukan suatu hal yang saya tahu saya suka," begitu jawaban gue.

Menurut pewawancara gue, apabila lolos gue akan diberitahu hari Seninnya (gue wawancara hari Jumat). Ternyata hingga Senin minggu berikutnya lagi pun, gue tidak dihubungi. Di saat yang sama pula gue mendapat tempat magang di sebuah firma hukum, sehingga ya sudah, gue mengambil kesempatan magang di situ.

Gak taunyaaaaa, sekitar pertengahan atau akhir Januari, gue dihubungi kembali oleh perusahaan tersebut untuk wawancara kembali dengan bagian finance. Pada akhirnya gue menolak, karena sudah magang di tempat lain dan gue juga bilang kalau gue pikir gue ditolak (karena kan waktu itu janjinya ngehubungin Senin berikutnya, maaak! :'' ). Pupus sudah impian untuk jadi reporter magang di situ. Salah satu rekan kerja gue bilang, "Emang gitu Cath, kesempatan-kesempatan kadang suka datang pas elo justru udah mengambil pekerjaan yang lain. Jadi di situ deh kesetiaan lo diuji." #tsah

Sedih sih, tapi ya gapapa karena waktu itu juga punya pengalaman lain. Baru-baru ini gue juga ada kirim lamaran lagi untuk posisi freelance writer di salah satu majalah lifestyle. Kirim malem-malem, eh keesokan harinya diajak wawancara. Oleh karena sekarang gue punya pekerjaan full-time, gue sempat negosiasi waktu untuk melakukan wawancaranya. Eh, ternyata mereka butuh orang yang bisa ke kantornya seminggu empat kali.

Itu freelance writer, atau part-timer? :'''( Akhirnya gagal wawancara, karena ya kurang cocok ama jadwal gue dan mereka. Tapi orang majalah itu bilang bakal ngabarin sih kalau ada lowongan untuk penulis lepas lagi yang cocok buat gue. Moga-moga, ya! :''D