Dulu gue pernah baca tulisannya Om Manampiring yang kurang lebihnya mengatakan bahwa pilihlah pekerjaan pertama kamu di tempat yang sudah dikenal orang. Lupa sih beliau tulis di mana, karena gue mengikuti Twitter, blog, dan AskFM-nya. Alasannya sederhana: Supaya terlihat bagus di CV kamu.

Gue mungkin salah satu dari sekian orang yang nekat memutuskan untuk memilih pekerjaan pertama di tempat yang gak biasa: start-up. Jelas bukan start-up seperti Kaskus, Tokopedia, GO-JEK, atau BukaLapak, ya. Benar-benar baru didirikan di Indonesia, mencoba untuk masuk di pasar Indonesia. Gue pun dapat info tentang pekerjaan tersebut via Twitter. Millennial abis, kan? =))) 

Dan jujur gue cukup struggle untuk menjelaskan ketika ditanya oleh interviewer ataupun kolega-kolega di kantor yang baru saat ini: "Dulu kamu kerja di mana, Lynn?"

Gue sebut namanya juga orang-orang banyak yang gak tahu. Ya mungkin juga karena gue pindah industri kerja, kan. Paling banter gue cerita aja zaman di kantor lama kerjaan gue apa. Nyesel sih nggak sama sekali, toh gue bisa sambil kuliah master; juga kenalan sama orang-orang dengan skill dan relasi yang luar biasa. Satu lagi, bahasa Inggris gue terlatih banget karena bos-bosnya bule semua. Dulu level gue bisa sampai otomatis ngomong Inggris tanpa mikir. Sekarang karena jarang dilatih jadi menurun, kalau con-call sama bule baru deh kepake dan jadi a-o-a-o dulu gitu huks. 

Jadi ya memang banyak hal yang dapat dipelajari dari konsekuensi pilihan kita; dan semuanya ada baik buruknya lah. Kalau kerja di perusahaan yang udah terkenal juga kayaknya sulit kan masih jadi cungpret* udah minta S2. Tapi kalau gue boleh kasih saran buat para lulusan baru, it's better to go with the big names first. Satu, emang buat CV. Dua, banyak orang hebat dan berpengalaman di situ yang bisa kasih kamu banyak pembelajaran. Tiga, kamu jadi selalu dituntut buat belajar (well, big companies have a lot of employees, it's a game on for promotions, dude; you should adapt and work hard). Empat, jenjang karirnya juga lebih jelas. Terakhir, ya jadi gak ribet-ribet amatlah kalau menjelaskan dulu pernah kerja di mana, hahaha!

Menurut kalian gimana, readers? Cerita dong tentang pekerjaan pertama kalian!

Catatan:

* cungpret : singkatan dari kacung kampret, alias karyawan dengan jabatan yang tergolong rendah di kantor.

Barusan gue nulis lumayan panjang, tapi akhirnya gue putuskan untuk diedit, disaring, dan ditulis kembali aja. Belakangan ini gue banyak kepikiran soal obsesi anak-anak generasi Millennials seumuran gue dalam pekerjaan. Barusan sih gue nulisnya dalam bentuk essay, tapi mari coba gue sarikan dalam bentuk quote yang lumayan hakjleb.

"Do not compare your chapter one to somebody else's chapter twenty-one."

Salah satu quote yang selalu gue ingat tiap baca artikel/ biografi tentang orang-orang sukses di Indonesia. Suksesnya mereka di bab dua puluh satu tentu didahului dengan perjuangan dua puluh bab dahulu, kan? 

"You're not that special."

Udah jamak ya, kayaknya, stereotip angkatan Millennials yang haus pengakuan, ambisius, dan gak sabaran? Gue mendapati artikel ini hampir 100% benar adanya dan bagus untuk dibaca buat refleksi diri. Lower your expectations, admit that everybody else might be as capable as you are. 

"The Soup will Follow the Bowl."

Words from Edward Suhadi. Sudahlah nggak usah sering-sering ngeliat orang lain, fokus aja untuk meningkatkan kapasitas diri.

"You're only 23. Stop rushing life."

Yak, artikel ini juga bagus banget buat dibaca anak-anak Millennials yang mungkin sulit untuk berhenti memantau media sosial (LinkedIn pada khususnya) untuk melihat apa yang sedang dilakukan teman-teman sebayanya. Dua paragraf pertamanya aja sudah sangat merefleksikan. Hihihi.

Gue sendiri harus mengakui bahwa kadang gue berpikir, "Njir, udah dua tahun sejak lulus S1. Gue di mana nih sekarang? Masih gini-gini aja?" Seperti itulah kurang lebih. Gue sendiri harus mengakui bahwa buat mengembangkan karir kayaknya waktunya belum sekarang, karena masih sambil kuliah S2. Dan beruntung pula teman-teman terdekat gue adalah sesama masih mencari jati diri dan sesama  masih berjuang menyelesaikan pendidikan (tapi mereka pada kuliah kedokteran :P). 

Jadi....

Lemesin ajalah, shay. 

Mempunyai mobil pribadi bisa dibilang merupakan salah satu pencapaian dalam hidup seorang eksekutif muda. Kalau gue lihat-lihat, di circle pertemanan gue itu kira-kira yang usianya sekitar 25-26 tahun sudah pada beli dan nyetir mobil sendiri. And yes it does make me think, bahwa berarti sekitar 3-4 tahun lagi gue sudah harus punya uang yang cukup untuk beli (atau nyicil) mobil. Jadi poinnya adalah mampu; tapi jujur aja sampai saat ini gue belom kepengen alias belum mau punya mobil.

Kenapaaa? Karena sampai detik ini gue masih melihat bahwa punya mobil itu cost. Membelinya sendiri, apabila dengan cicilan, tentunya bakalan kena bunga. Pas ganti nama di BPKB, kena Bea Balik Nama. Belum lagi pajak tahunan STNK. Bea pembaruan plat mobil juga tiap lima tahun sekali. Belom servis mobil. Belom premi asuransi. AAAK!

Rempong kan? Atau yang simpel-simpel kayak nyuci mobil. Tipe gue lagi kan ya, palingan pasti dibawa ke salon, bukan mandiin mobilnya sendiri. Hahaha. Belom lagi bensinnya! Secara hitung-hitungan kasar, sebenernya naik angkutan umum versus naik mobil itu biayanya gak jauh beda (dan naik mobil pribadi lebih hemat waktu); tapi kalau dijumlah-jumlah ama yang lain-lain kok rasanya kurang worth, ya.

Jadi, gue kayaknya tetep jadi tim yang leyeh-leyeh di Patas AC (kalau lagi dapet duduk) aja. Kalau lagi perlu mobil, pinjem ajalah! =)) Semoga 3-4 tahun lagi uang yang gue punya emang cukup untuk nyicil mobil, dan duitnya akan tetep gue simpen saja sampai bisa buat nyicil properti. Ada amiiin?

Watch 55:08-end

"I've proven everyone that doubted me back then that I am not a good model, I am short. They're all wrong."

OMG I'm like super proud of Gani for winning Asia's Next Top Model Cycle 3! 173 cm is not short for Indonesian; but she was definitely a dwarf compared to other model in the competition. Even Alex Perry had doubted her ability on runway due to her height. She proved him wrong.

I personally think that doubt or skepticism from other people can be a fuel for us to move forward. She was one living proof. I believe there is a lot, out there; including myself. Well, it could be a fuel yet it could drag you down either. It is our decision in the end; to or not to believe in ourselves, in our capability.

For you who think that doubt will just drag you down, hear me. The feeling of proving them wrong is really good. You really think you don't want to try?

"Even I'm too scared to dream of it."


Yes, sometimes that happen. :)) But fear leads you nowhere, no? Let me quote one of Indonesia's super star, Agnez Mo: "Dream, believe, make it happen." Five words that I always give my Amen on.  Obstacles can not stop you from doing what you love. She proves it. Gani proves it.

Nobody doubts you; or you need more fuel? I always do this: having two me debating in head. One give the doubt, one wants to prove the other wrong.


"You won't be able to do it!"
"Really? I'll be stupid if I can't."



And I definitely know that I am not stupid.
So are you.

I just feel the urge to post this and save this in my blog archive.

I believe you guys have already known that I am currently in love with Marvel's Agents of S.H.I.E.L.D TV series (my bf is now speechless about it too since I could not stop fangirling over Phil Coulson and Melinda May relationship). I mean, how could I? Their relationship, their bond, is very strong that I still do not get it why the writers keep their relationship in the middle; between professional and personal! Just set them free, exploring more in personal thing! Just let them be in love! Graa!

Sorry. Actually it is not the reason why I am writing this post. Hahaha. It is still relevant, though. As you (might) know, fans like to create their own stories using the basic story and characters of a book, TV show, or movie. It is called fanfiction. Yesterday I found a very interesting and beautiful fanfic regarding the relationship of Phil and Melinda from S.H.I.E.L.D., here! It would be nice if you read it first, you might not understand the whole story if you do not watch S.H.I.E.L.D.; but still, the fanfic is pretty nice to be compared to our current life.

I want to quote some of the dialogue here:

"We grew up, Phil. We became the SHIELD agents we dreamt of becoming one day, but at the cost of what we could have been if we were not in SHIELD."

Any ouch-es already? :)))

That quote has made me reminiscing my decisions in the past. Life is all about making decisions from choices, right? My friend once said, it is just about the opportunity cost. I decided to get along with my parents suggestion to go to law school. Hated it at first, but realized that I should finish it quick because I do not want to suffer for so long (and of course, because my tuition fee is expensive)... but guess what, I got to learn land law (which I love so much) and got a bf as well (whom I also love so much). My cost? Forgetting all the codes that I have ever learnt in high school! Programming was my thing, beside writing. I wanted to be a programmer or journalist; never once in my life I ever had a thought of becoming lawyer or accountant (surprisingly I signed up for both major and accepted in law school).

Other big decision? Taking job! I could have been a corporate lawyer, or a banker (my mom had suggested me to go to a law firm, which I refused due to several reasons). It is a public secret that corporate lawyers earn more than other profession in law field (it might be the biggest temptation for law graduates; but for the record, they earn that much because they work THAT much). But I decided to take my current job. Turns out, I got to learn new things about startup industries (my current guess: this is going to be the next big thing happened in our country), I still could do some freelance jobs (writing, yay! Remember that I really wanted to be a journalist?), and still got to meet my family by the end of the day (got a chance to teach my sisters math and physics too). And I am pretty happy for those.

So that quote will lead us to this quote:

"But we can not always predict what would happen, can we?"

Say that we picked the other choice; who can guarantee if it will end up that good as we imagined it would be? :)

Yep, none. That is why we do not have to regret the choices we made. There is no such a good or bad decision. The thing that comes after it, that might be good or bad. And no matter how good or bad it was, it has formed us to be who we are today.

Of course, sometimes we would think of this quote:

"...whatever I have, I want it to be with you, not just a partner or a friend but as something we could have been if life had not happened."

Right? 

Life had thrown me its shit years ago and until now I still have a thought (or hope?) of being something I could have been if life had not happened. But when I look at the other side, I have achieved so many good things as well! And for that, I might have to thank life, no?

We should know that we can not have it all; we can not have perfections. I believe it is not wise to blame the bad situations that had happened, but I hope it is all right to wish for something better in the future. *crossing fingers*

"When I leave educational institutionalism, will I be successful or forever lost?
I have no clue about what I want to do with my life;
I have no interest because I saw every subject of study as work,
and I excelled at every subject just for the purpose of excelling, not learning.
...

And quite frankly,
now I'm scared."

Organisasi yang gue geluti di kampus dari zaman gue maba, kini kembali membuka rekrutmen untuk periode kepengurusan baru. Tentunya gue tidak ikut terlibat di dalam kepengurusan lagi *sudah tuaaa!*, kini jadi anggota pasif aja (dan juga DPO sih, tapi tetap itu itungannya anggota pasif).

Terus ada kejadian yang menyentuh hati gue banget dong.

Dua orang rekan gue (yang juga junior gue) yang di periode sebelumnya sama-sama menjabat sebagai BPH di organisasi tersebut, kembali bergabung dengan organisasi ini lho. Ya, jadi di periode yang sekarang, mereka tidak menjadi BPH. Di periode yang tahun ini, mereka berbesar hati bergabung sebagai staf.

Salut banget lho gue. I mean, they used to be BPH, kan. Mungkin kelak ada tendensi ngerasa lebih ngerti apa gimana, tapi gue harap mereka tetap menghormati atasannya yang sekarang deh :) Tapi kebesaran hati, kemungkinan masih merasa perlu ilmu dari organisasi lalu kemudian memutuskan bergabung kembali meski gak sebagai BPH... Itu hebat sih.

Jadi inget gue tahun lalu sudah menetapkan hati untuk mendaftar jadi BPH di organisasi lain kalau enggak ditawarin jadi BPH di organisasi yang ini. Gue berpikirnya pada masa itu, gue butuh peningkatan juga dong dalam karir keorganisasian. Masa jadi staf melulu kan. Jadi ada lah saat itu pride atau gengsinya gitu :P

Beruntungnya gue sih ya karena pada akhirnya gue masih bisa terus komit di organisasi ini dan punya peningkatan jenjang karir juga.

Malu sendiri deh jadinya kalo membandingkan pengalaman gue dan kedua junior gue tersebut.

Dulu gue pernah nge-tweet kurang lebih kayak gini: Integritas, loyalitas, dan kapabilitas bisa membuat kalian memperoleh peningkatan karir dalam organisasi.

Tentu ada benernya sih.

Tapi kan ga semua orang yang punya ketiga hal tersebut "dilirik" juga kan.

Kayaknya gue juga harus menyadari bahwa: kalau emang ngerasa masih butuh ilmu, gak ada salahnya untuk berbesar hati. Jangan cuma jenjang karir oriented aja. :)

Well hello! Happy Christmas and Happy New Year, readers!

Been a while since last time I blogged here and now it is 2013 already!

Sejujurnya ada kesenangan sendiri ketika menyadari bahwa 2012 sudah berlalu. 2012 tidak berjalan begitu baik untuk gue. A tough year to be faced for me, if I may say. Balada banget, penuh masalah yang tidak dapat diceritakan disini (mungkin dapat dibilang "drama menjelang usia 20")*. Gue masih ingat benar firasat yang gue dapatkan tepat di malam tahun baru 2012, yang berujung pada kenyataan yang benar adanya. Awful that I don't want to remember it anymore. Kemudian disusul empat kali sakit (yang harus bedrest) dalam setahun terakhir. Tugas kuliah selama dua semester terakhir juga menggunung banget (yang berujung membuat gue jadi deadliner).  Not to mention, pilihan untuk berkomitmen lebih di sebuah organisasi fakultas.

But hey, jadi teringat resolusi (yang baru pertama kali gue buat seumur-umur di Desember 2011) untuk tahun 2012 lalu. Pertama, rajin update blog. Ya setidaknya berjalan dengan baik, setiap bulan ada satu post hingga Agustus 2012. Terus vakum kebanyakan tugas kampus. Kedua, mengurangi mengeluh dan memperbanyak bersyukur.

Waini.

Di tengah stress yang menimpa gue dari segala arah, toh gue survived. IPK puji Tuhan naik, masih tetap bertahan di posisi cumlaude. Bisa ngerasain yang namanya pergi-pagi-pulang-petang jadi orang kantoran melalui magang. Bisa ngerasain pertama kali ke Pulau Sumatra di tengah tahun dan pertama kali ke luar negeri di penghujung tahun. Pas lagi sakit juga selalu ada yang ngejagain. That's a thing you know; dianterin obat dan susu Bear Brand, ditemenin ke kampus pulang-pergi... Dan di kali sakit yang lainnya eksklusif jauh-jauh dijemput ke kampus lalu dianter pulang.

Maybe my 2012 was not that bad. 

2013 sudah datang, gue sendiri belum memikirkan resolusi apapun. Olahraga, mungkin. :)) Harapan sudah ada, supaya hal-hal buruk (banget) yang terjadi di 2012 tidak perlu terulang. 2013 harus menjadi tahun yang lebih baik dengan less drama. I had enough drama already.

"Don’t go into the new year holding a grudge from last year. Leave the hurts and disappointments behind."

-@ihatequotes

"Hidup pasti ada masalah, karena tiap kita punya masa-masa salah. Tapi namanya juga masa, akan ada akhirnya. :)"

-@jokefisien

Indeed. Setiap hal yang ada di 2012 adalah bagian yang ada di hidup gue: suka atau tidak suka. Mari bersyukur atas apa yang dimiliki sekarang. Gue mungkin tidak akan lupa sama apa yang telah gue alami, tapi mungkin gue sudah seharusnya menatap fase terakhir dari Five Stages of Grief,* yaitu acceptance.

Catatan kaki: 

*) Istilah yang dipergunakan @fitrop di bukunya yang berjudul Kening; bahwa setiap orang pasti mempunyai drama tersendiri ketika memasuki usia 20 dalam hal-hal tertentu.

*) Five Stages of Grief: Denial, Anger, Bargaining, Depression, Acceptance.