Disclaimer: Cerita ini adalah fiksi mengenai penduduk Jakarta, meski latar tempatnya adalah nyata adanya. Ditulis dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, dari beberapa orang sekaligus. Gue sekarang ini lagi pengen iseng-iseng nulis fiksi, jadi tempat pertama untuk menuangkannya, ya di blog ini. And I am very welcomed for any improving comments, readers!

***

Seperti hari-hari biasanya, sepulang kantor gue harus melewati Terminal Blok M untuk naik bus TransJakarta mengarah ke rumah. Setelah turun dari Kopaja yang membawa gue dari kantor ke Terminal, gue bergegas berjalan menuruni tangga menuju halte TransJakarta. Ha, gue kadang suka terkagum-kagum dengan Terminal Blok M yang punya basement sendiri ini. Isinya bukan bus, bus itu letaknya di jalanan di atas basement. Basement ini isinya berbagai kios yang menjual beranekaragam produk; mulai dari makanan, jasa sablon pakaian, masker (yang biasa dipakai orang-orang di bus itu loh!), hingga telepon seluler. Udah gitu, basement ini juga menghubungkan Terminal dengan Blok M Plaza. Hebat abis lah pokoknya Terminal Blok M ini, beda dengan terminal-terminal bus lain yang pernah gue sambangi sebelumnya.

Antrean penumpang TransJakarta pasti agak ramai hari ini; terukur dari banyaknya orang yang sedang mengantre masuk gate. Untungnya gue udah nggak menggunakan tiket kertas itu lagi, jadi bisa langsung tempel kartu uang elektronik dan langsung jalan naik tangga menuju antrean yang sesungguhnya. Bener aja, rame. Gak bakalan dapat bus yang pertama nongol nih.

Gue sedang asik memainkan ponsel gue (ya iyalah, masa ponsel orang, kan gue bukan copet!), ketika bus yang pertama datang. Antrean jadi merapat, gue mulai menjaga tas seiring berjalan mengikuti arus penumpang yang masuk ke dalam bus.

"Oke, cukup ya! Belakang ada lagi," ujar pramudi TransJakarta.

Bus berikutnya datang tak lama setelah bus yang pertama berangkat. Lagi, antrean jadi merapat. Gue menggenggam erat ponsel gue dan memindahkan fokus ke langkah kaki sendiri. Antrean rapat gini benar-benar gak asik, karena kadangkala berujung jadi dorong-dorongan. 

Fokus. Hal ini yang dibutuhkan setiap penumpang TransJakarta ketika mau naik atau turun bus, karena selalu ada jarak yang agak jauh antara halte dengan bus. Meskipun sudah berkali-kali diingatkan untuk tidak dorong-dorongan dan berhati-hati, seperti yang dilakukan si pramudi saat ini, tetap saja hasrat penumpang buat cepat-cepat naik itu akan mengalahkan suaranya yang besar. Jadi, fokus. Kalau nggak fokus, bisa-bisa kita ja - 

BRUKK.

- tuh. Gue langsung menengok ke arah pintu setelah mengisi tempat yang kosong di bus. Atuhlah, baru juga gue bilang. Fokus.

***

Seperti hari-hari biasanya, kegiatan saya adalah menjaga pintu dan mengawasi penumpang. Teriak perihal halte tujuan, halte berikutnya, halte untuk transit, termasuk juga mengingatkan penumpang untuk menjaga barang bawaan. Bagian pekerjaan itu sih, ndak sulit memang. Bagi saya, ada dua pekerjaan sebagai pramudi TransJakarta yang butuh energi lebih untuk dilaksanakan. Satu, berdiri senantiasa selama bus beroperasi sepanjang satu koridor. Kalau lagi lancar, mending. Kalau lagi macet, modar. Dua, menahan 'antusiasme' penumpang TransJakarta yang mau naik ke atau turun dari bus. Kayaknya kok ndak sabaran sekali, gitu. Padahal aturannya jelas: berikan ruang untuk yang turun terlebih dahulu dan jangan saling mendorong saat naik ke bus. Tapi yo gitu, para penumpang ini kadang ndak tau aturan atau mungkin sedang terburu-buru.

Waktunya berangkat lagi dari pool Terminal Blok M. Saya bangkit berdiri setelah sempat leyeh-leyeh sejenak di bangku penumpang, siap untuk kembali menjaga pintu. Antrean penumpang mulai merapat, meski bus belum berhenti sempurna. Tepat setelah pintu bus terbuka, saya kembali memulai pekerjaan saya sehari-hari ini.

"Tujuan Kota ya! Hati-hati langkahnya nanti jatuh! Pelan-pelan jangan saling dorong!"

Satu demi satu penumpang masuk ke dalam bus, mengisi bangku-bangku yang sebelumnya kosong. Kalau di pool, saya ndak boleh mengizinkan seluruh penumpang untuk naik ke bus. Setelah bangku terisi penuh dan sudah ada beberapa penumpang yang berdiri, saya harus menghentikan laju penumpang yang mengantre. Kalau ndak, nanti penumpang di halte lainnya ora iso terangkut.

BRUKK.

Seorang ibu berjilbab ungu terperosok di lubang antara bus dan halte. Saya sontak panik. Dibantu beberapa penumpang lain, saya mengangkat ibu itu dan mendudukannya ke kursi. Saya memeriksanya sejenak, memastikan bahwa ibu itu tidak terluka. Saat itu pula saya menyadari, raut wajah ibu itu loyo sekali. "Lagi sakit dia, Mbak," kata seorang pria yang kemudian saya ketahui adalah suaminya.

Aduh, kenapa naik TransJakartaaaaa? Saya ndak habis pikir, wong sedang sakit tapi memaksakan diri naik bus. Saya ndak bisa bayangin kalau sedang sakit, atau harus memapah orang sakit, naik TransJakarta. Berjalan ke halte, menunggu bus datang, belum lagi kalau harus transit ganti koridor. Ibu saya mungkin umurnya tak jauh berbeda dari ibu yang terperosok ini. Ndak, ndak sanggup saya bayangkan kalau ini ibu saya. Meski uang saya ndak banyak, tapi kalau sedang sakit begini memang harus naik taksi.

"Kenapa ndak naik taksi aja, Pak? Lagi sakit begini si Ibu, kasihan," kata saya pada suaminya.

***

Tidak seperti hari-hari biasanya, hari ini saya dan suami mengantre di halte TransJakarta Terminal Blok M. Halte agak ramai dipenuhi oleh orang-orang yang baru pulang kerja. Sementara saya dan suami bukan pulang kerja, tapi pulang dari rumah sakit. Beberapa hari ini dada saya sedikit sesak, membuat saya agak sulit bernapas. Suami kemudian bersikeras membawa saya ke rumah sakit untuk memeriksakan diri. Takut kenapa-kenapa, katanya.

Lemas. Satu kata yang menggambarkan keadaan saya saat ini. Seharian menunggu dokter, foto ronsen, dan kini berdiri menanti TransJakarta. Bus pertama sudah tidak mengizinkan penumpang naik lagi, padahal giliran saya sedikit lagi. Ya, bus berikutnya pasti saya dapat naik.

Bus berikutnya pun datang tak lama setelah bus pertama berlalu. Saya menggenggam tangan suami, takut terpisah. Mana saya tak tahu jalan, pun. Penumpang yang lain mulai merapat, saya sedikit terdorong. Keadaan yang lemas ini sangat tidak membantu untuk dapat berdiri tegak dan berjalan lurus.

BRUKK.

Kaki kanan saya terperosok ketika melangkah masuk ke bus. Pandangan saya sedikit kabur. Beruntung saya berpegangan pada suami, kalau tidak saya bisa terperosok lebih parah. Posisi saya: tangan kiri berpegangan pada suami, tangan kanan meraih lantai bus. Aduh, sakitnya.

Saya tidak ingat benar kejadiannya, tiba-tiba sekarang saya sudah duduk di bangku penumpang. Seorang pramudi TransJakarta memeriksa keadaan saya. Saya menaikkan tangan karena tak mampu berujar bahwa saya tidak apa-apa. Ya, sakit, tapi tidak apa-apa. Suami sudah di samping saya, mengatakan kepada pramudi itu kalau saya memang sedang tidak sehat sehingga kehilangan fokus saat naik ke bus.

"Kenapa ndak naik taksi aja, Pak? Lagi sakit begini si Ibu, kasihan," samar-samar saya mendengar pramudi itu berkata demikian.

Tidak, batin saya. Dengan keadaan Sudirman yang akan sangat padat pada jam begini, naik taksi bukanlah opsi. Kejadian barusan hanya karena saya kehilangan fokus. Tapi toh saya punya suami, yang senantiasa menemani di kala sakit ini.