Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan pribadi saya, komentar dan diskusi yang membangun sangat dipersilakan di kolom komentar di bagian bawah post ini. Dibuat khusus bagi Anda yang tertinggal berpartisipasi dalam pengumpulan fotokopi KTP untuk 'menggugat' UU Pilkada.

Cover The Jakarta Globe, 26 September 2014

Masih ingat riuh rendah linimasa Twitter di hari Jumat yang lalu? Saya masih ingat banget, buka linimasa sambil nunggu TransJakarta. RUU Pilkada akhirnya diketok, membuat Kepala Daerah kini dipilih oleh DPRD. Terlepas dari aksi walkout yang dilakukan salah satu partai, disusul tweet dari Presiden sekaligus ketua partai yang bersangkutan, hingga kegilaan warga Twitter dalam membuat salah satu tagar menjadi trending topic worldwide... Yang paling menarik bagi saya adalah gerakan pengumpulan fotokopi KTP masyarakat di Bundaran Hotel Indonesia pagi ini. Kampanyenya: "Bawa Fotokopi KTP-mu untuk Turut Menggugat UU Pilkada ke MK."

Gerakan ini luar biasa kalau dilihat di Twitter serta berita-berita dari berbagai media. Bisa jadi, Permohonan (saya tidak suka pakai istilah gugatan, karena istilah hukumnya memang bukan itu) pengujian UU Pilkada ini akan memecahkan rekor sebagai Permohonan yang paling banyak Pemohonnya. Gerakan ini menunjukkan banyaknya masyarakat yang peduli akan hak konstitusionalnya. Namun, secara hukum, apakah jumlah atau kuantitas Pemohon ini penting?

Meski Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dapat berupa perorangan WNI atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama, sesungguhnya kuantitas Pemohon bukan masalah pokok dalam beracara di Mahkamah Konstitusi. Berkas Permohonan pengujian undang-undang wajib diajukan sebanyak dua belas rangkap dan hampir dapat dipastikan bahwa bagian identitas Pemohon akan memakan halaman yang tidak sedikit. Dan jangan lupakan bahwa setiap Permohonan yang masuk ke Mahkamah Konstitusi harus diverifikasi dahulu oleh Petugas Kepaniteraan. Petugas Kepaniteraan ini wajib memeriksa kelengkapan alat-alat bukti yang mendukung Permohonan, salah satunya adalah bukti diri Pemohon (selain itu Petugas Kepaniteraan juga perlu memeriksa bukti surat, daftar calon ahli/ saksi, dan daftar bukti lainnya). :''))

Alasan lain yang dapat saya sampaikan adalah Putusan Mahkamah Konstitusi yang sifatnya erga omnes. Pernah dengar dong, banyak Putusan Mahkamah Konstitusi yang Pemohonnya hanya satu orang WNI? Sebut saja Putusan yang ramai dibahas beberapa tahun silam, perihal pengujian UU Perkawinan. Machica Mochtar, kala itu mengajukan pengujian Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, kurang lebih seperti ini: Anak Luar Kawin juga dapat mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologisnya sepanjang dapat dibuktikan menurut ilmu pengetahuan dan teknologi. Implikasinya tentu tidak hanya kepada Machica Mochtar sebagai Pemohon saja, tetapi juga terhadap setiap WNI. Bagi WNI yang merupakan Anak Luar Kawin dan dapat membuktikan siapa ayah biologisnya, maka ia dapat mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologisnya itu. Jadi, andaikata pengujian UU Pilkada ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, setiap WNI pun akan merasakan dampaknya (baik yang mengumpulkan KTP alias Pemohon, maupun yang tidak). :D

Pic from @radixhidayat. Siap, Pak! ('-')7

Untuk referensi: